Contemplative Pastor by Eugine Peterson

Contemplative Pastor
by Eugine Peterson
Diterjemahkan oleh Pdt Suwandoko Roslim
Kita perlu mendifinisikan kembali pelayanan pastoral. Eugene menyoroti tiga aspeknya, yaitu: gembala tidak boleh terlalu sibuk dalam pelayanan, gembala perlu belajar melayani dengan diam-diam, alias subversif, seperti Yesus dan gembala perlu mempunyai perspektif apokaliptik (akhir jaman).
Selesai ibadah, gembala berdiri di pintu keluar menyalami setiap jemaat sambil memetakan di pikirannya wajah dan nama jemaatnya. Semakin banyak jemaatnya, semakin sulit mencocokkannya. Seorang pengusaha datang ke gembala dan berkata: “Pastor, terima kasih, kotbahnya bagus. Sekarang saya akan kembali ke dunia nyata – dunia sesungguhnya.” Gembala itu tersentak, karena dalam kotbahnya dia berusaha menjelaskan bahwa Tuhan punya rencana untuk setiap anakNya. RencanaNya meliputi seluruh aspek kehidupan, bukan hanya kehidupan rohani dua jam di gereja di hari Minggu saja.
Ada perbedaan pandangan antara gembala dengan pengusaha itu. Dalam pandangan pengusaha, bergereja merupakan hasil pemikiran para teolog, yang hidup dalam dunia rohani saja. Jemaat mencukupi kebutuhan jasmaninya supaya dia bisa menjalankan tugasnya. Tapi dunia jasmani adalah urusan mereka pribadi.Orang seperti ini masih hidup dalam kerajaan ego-nya sendiri, bukan dalam kerajaan Allah.  Sebaliknya, gembala percaya bahwa kehidupan rohani dan jasmani merupakan kesatuan, tidak terpisahkan. “Bukan dengan roti saja, manusia hidup, tetapi dengan setiap Firman Tuhan.” Tujuan akhir dari pelayanannya diungkapkan dalam doa Bapa Kami, “Datanglah Kerajaan-Mu, dan jadilah kehendak-Mu, di bumi, di keluarga, di hati pribadi, seperti di Sorga.” Bagaimana cara untuk mencapai tujuan itu ?
Setiap orang mempunyai kerajaan ego, yang akan dipertahankan mati-matian. Tugas gembala sesuai dengan panggilannya adalah merobohkan kerajaan ego itu, dan mendirikan kerajaan Allah dalam hati setiap orang yang dilayaninya. Yesus diakui dan diterima sebagai Raja dalam setiap aspek kehidupan:  rohani dan jasmani.  Dia tidak memakai cara-cara konfrontatif, hancur-hancuran atau premanisme untuk melaksanakan tugasnya, “Bertobat atau masuk neraka.” Tidak, dia lebih banyak memakai cara-cara halus, yang memberi dorongan, membujuk, mengajak,  memberi pencerahan dan penyadaran.
Bagaimana Yesus sendiri melayani? Yesus bekerja secara subersif, diam-diam, di belakang layar. Dia melarang orang yang disembuhkan untuk memberitakan kesaksiannya ke mana-mana. Dia menghardik iblis agar tidak bersaksi tentang diriNya sebagai Anak Allah. Buluh yang terkulai, tidak dipadamkanNya. Dia tidak berteriak-teriak di sepanjang jalan agar orang bertobat. PenampilanNya tenang, tidak meledak-ledak, bahasanya halus, sering memakai perumpamaan. Misalnya, perumpamaan bapa dengan dua anaknya, yang sebenarnya dua-duanya hilang. Si bungsu hilang di dunia luar, di sulung hilang di dalam rumah. Dua-duanya hidup miskin, tidak hidup berdasarkan kekayaan bapanya. Yesus berbicara tentang para pemungut cukai, pelacur, orang berdosa, seperti anak bungsu. Para pemimpin agama, seperti anak sulung. Dua-duanya terhilang, hidup di bawah standard yang diinginkan bapa. Kepada Petrus yang mau membela Dia dengan membunuhi orang-orang yang mau menangkap Dia, Yesus berkata: “Sarungkanlah pedangmu.” Yesus menanamkan benih kebenaran di dalam hati para muridNya dengan harapan benih itu akan bertumbuh menjadi tanaman yang subur, kokoh dan besar.
Sekalipun tidak konfrontatif, tetapi tujuannya adalah untuk transformasi kehidupan, dan itu berarti menggulingkan kerajaan ego, dan menegakkan Kerajaan Allah dalam hati setiap orang.  Bagaimana kita menjalankan pelayanan yang subversif, diam-diam, untuk transformasi, seperti Yesus? Ada dua alat yang kita pergunakan: doa dan Firman. Alat-alat lain yang modern, canggih, memang menarik. Strategi pelayanan yang jitu, pengelolaan tata ibadah yang mewah, meriah, seperti konser, tempat ibadah yang nyaman dan indah, adalah alat-alat yang dapat dipakai. Tetapi, tidak mentransformasi kehidupan. Tidak ada jalan lain untuk melayani secara subversif, agar orang dirubah hidupnya, kecuali dengan doa dan Firman Tuhan.
Aspek ketiga dalam pelayanan gembala yaitu kotbah-kotbahnya berperspektif apokaliptik – akhir jaman, kiamat, kedatangan Tuhan kembali. Menakutkan. Firman Tuhan memang mengatakan bahwa akhir jaman akan tiba saat yang sukar. Bahkan manusia dikuasai oleh ketakutan dan terror. Tetapi, gembala harus membimbing jemaatnya agar dapat menikmati padang rumput yang hijau dan aliran air yang tenang. Sikapnya menunjukkan keteguhan hati, tenang tapi semangat, berserah kepada Tuhan. Kitab terakhir dalam Alkitab adalah kitab Wahyu yang menggambarkan situasi apokaliptis yang dahsyat menakutkan. Tetapi, penulisnya adalah Yohanes, seorang gembala. Warna apokaliptis tidak hanya berkaitan dengan akhir jaman. Banyak orang yang merasa hidupnya sudah berakhir, karena masalah yang menimpanya. Gembala perlu memimpin jemaat seperti itu untuk mendapatkan “kelegaan atau perhentian mereka di dalam Tuhan.” Apokaliptik berarti pewahyuan, sesuatu yang tadinya tertutup dibukakan oleh Tuhan. Kotbah-kotbahnya gembala memberi pewahyuan yang menembus keadaan yang terlihat sekarang, dan melihat Kerajaan Surga yang sedang datang. Kotbah-kotbah begini memberikan harapan di tengah keputusasaan, kekuatan dalam kelemahan, semangat dalam kelesuan.
Pada saat yang sama, gembala harus menjaga diri agar tidak menempatkan dirinya di atas altar yang dipuja oleh jemaat yang mengaguminya. Gembala harus menjaga amanah suci dan tidak memperjualbelikan agama. Gembala harus waspada terhadap godaan untuk mendapatkan kekayaan dari pelayanannya, apalagi jika jemaatnya besar dan sangat mengaguminya. Cultus individu harus dibuang dalam ego gembala. Godaan dari dunia menyerbu kehidupan gembala. Caranya? Dengan berdoa seperti Yohanes berdoa di kitab Wahyu.
Kitab Wahyu diawali dan diakhiri dengan doa. Gembala hidup di dunia dunia, yaitu dunia alam atas yang supranatural dan dunia keseharian yang mengikuti hukum-hukumnya sendiri. Doa menyatukan kedua dunia itu. Doa menyatukan harapan dengan realita. Doa apokaliptik mengingatkan kita bahwa dunia yang kita jalani sekarang adalah sementara, Doa ini menyadarkan bahwa ada dunia lain yang kekal. Ke sanalah tujuan hidup kita.
Gembala menyampaikan kotbah apokaliptik. Kotbahnya diidentikkan dengan Firman Tuhan, walaupun tidak punya otoritas yang sama. Gembala harus memilih kosa kata yang mudah dipahami, tidak berarti ganda, tidak ambigu atau tidak etis.  Dalam demo-demo dimana banyak orang berkumpul, mereka mudah diprovokasi dengan kata-kata manusia. Mereka bisa melakukan tindakan di luar kesadaran nalar mereka. Kotbah yang disampaikan karena dari Firman Tuhan mempunyai kekuatan mencipta, bukan sekedar menyampaikan informasi belaka. Firman Tuhan mencipta persekutuan, bukan sekedar saraba komunikasi. Firman Tuhan memulihkan hubungan manusia dengan Tuhan. Gembala bekerja dengan memakai perkataan ketika berkotbah dan berkomunikasi.
Manusia tidak sabar dengan rahasia, karena ingin menguasainya. Ia ingin kepastian. Karena itu, dalam pekerjaannya, ia menghendaki perencanaan yang rapi, ada control, tidak ada kemendadakan, kalau ada penyimpangan cepat dapat di atasi. Rahasia apokaliptik pun ingin diterobosnya. Sifat ketergesa-gesaan ini terlihat ketika pelayanan seorang tidak membuahkan hasil seperti yang diinginkan, atau secepat yang dikehendaki. Keputusan yang diambil seringkali kurang matang, yaitu tinggalkan pelayanan sama sekali, atau pindah ke tempat lain. Manusia suka mengambil jalan pintas agar cepat tiba, cepat kelihatan hasilnya. Manusia tidak sabar. Apalagi dengan adanya alat-alat canggih yang serba otomatis, yang memicu manusia untuk bekerja secepat mesin. Akibatnya, manusia, termasuk gembala yang maunya serba cepat, mengalami stress. Gembala itu perlu mengingat bahwa waktu ada di dalam tangan Tuhan. Dialah yang memutar jarum jam itu. Di dalam Tuhan tidak ada ketergesa-gesaan. Semuanya on time. Belajarlah dari petani. Dia menanam benih padi hari ini, dan menunggu tuaian 3 bulan lagi. Sementara menunggu, dia bekerja keras membersihkan lingkungan keliling padi itu, mengalirkan air yang cukup dan menjaganya dari serangan hama. Dia tidak bisa hanya menanam saja, lalu sambil tidur, menunggu masa panen.
Gembala harus mengingat tidak aspek ini: jangan terlalu sibuk sehingga lalai dengan tugasnya; pakailah sarana doa dan Firman Tuhan untuk membuat transformasi dengan diam-diam, dan segala sesuatu akan berakhir kelak ketika Tuhan datang kembali.